HarianBorneo.com, SAMARINDA – Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Samarinda gelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Dinas Perdagangan Kota Samarinda bahas soal Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Larangan, Pengawasan, Penertiban dan Penjualan Minuman Beralkohol, Selasa 28 Maret 2023.
Pada paripurna beberapa waktu lalu, telah ditetapkan panitia khusus (Pansus) Raperda atas perubahan Peraturan Daerah (Perda) nomor 6 tahun 2013 tentang tentang Larangan, Pengawasan, Penertiban dan Penjualan Minuman Beralkohol Dalam Wilayah Kota Samarinda.
Saat usai rapat, Ketua Pansus Raperda, Elnatan Pasambe, menyebutkan adanya perubahan terhadap Perda ini disebabkan sudah banyak aturan didalamnya yang tidak sesuai dengan keadaan saat ini dan juga berbenturan dengan peraturan pusat.
Adapun aturan yang bertentangan dengan Perda saat ini berasal dari Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 49/2021 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 10 /2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal.
Kendati demikian, pihaknya akan terus berupaya untuk menyelesaikan raperda ini sesuai dengan target waktu yang diberikan selama 6 bulan. Saat ini dirinya mengaku raperda masih dalam tahap pembahasan dan telah ada beberapa perkembangan. “Pansus ada batas waktunya, habis Lebaran ini kemungkinan selesai,” ucapnya.
Selain itu, Serkretaris Pansus Raperda, Nursobah menjelaskan, dalam Raperda ini terdapat dua persepektif larangan. Pertama terkait larangan pemasukan, peredaran, hingga penjualan. Kedua yaitu persoalan kegiatan budaya yang tidak bisa dilarang.
“Perlu ada yang diakomodir. Misalnya dikegiatan budaya tertentu ada yang meminum tuak. Hal tersebut menjadi kegiatan budaya tidak bisa dilarang,” ungkapnya. “Kalau dari Pemerintah Kota, pak walikota menginginkan larangan, sehingga diantisipasi dengan meminta retribusinya naik hingga 40 sampai 60 persen,” timpalnya.
Kemudian, persoalan tempat-tempat usaha yang dilarang untuk menjual minuman beralkohol, yaitu harus berjarak 100 hingga 500 meter dari tempat rumah ibadah, sekolah, dan fasilitas kesehatan seperti rumah sakit, puskesmas hingga klinik, dan untuk hotel yang dapat menjual harus minimal berbintang 3.
“Sementara itu aja garis besar yang mau kita rubah, karena belum selesai belum bisa kita sampaikan secara tuntas, tentang apa saja produk hukum yang akan dijadikan, dari 21 pasal saat ini baru 5 pasal yang selesai,” tutupnya. (MR/Adv/DPRDSamarinda)