HarianBorneo.com, SAMARINDA – Penataan kawasan kumuh di Kota Samarinda tak bisa hanya mengandalkan perencanaan teknis atau kebijakan pemerintah semata.
Ketua Komisi III DPRD Samarinda, Deni Hakim Anwar, menekankan pentingnya melibatkan warga sebagai aktor utama dalam upaya pembenahan permukiman.
Menurut Deni, pendekatan yang selama ini digunakan masih terlalu teknokratis. Padahal, keberhasilan program justru bergantung pada keterlibatan aktif masyarakat di wilayah terdampak.
“Masalah kawasan kumuh bukan hanya soal infrastruktur. Yang terpenting adalah bagaimana warga didorong untuk menjadi bagian dari solusi. Tanpa mereka, program bisa berhenti di tengah jalan,” kata Deni.
Ia menilai, banyak hambatan dalam program penataan bukan bersumber dari persoalan teknis, melainkan komunikasi sosial.
Permasalahan seperti relokasi, status kepemilikan lahan, hingga ketidakpercayaan warga terhadap pemerintah menjadi tantangan tersendiri yang perlu diatasi dengan pendekatan yang lebih manusiawi.
DPRD mencatat bahwa Pemkot Samarinda telah merencanakan penataan kawasan kumuh seluas sekitar 7 hektare tahun ini. Namun, Deni menyebut tantangan sebenarnya ada di lapangan. Kompleksitas sosial dan keterbatasan anggaran membuat proses penanganan tidak bisa dilakukan secara serentak.
“Kita harus realistis. Solusi bukan datang dari alat berat atau baliho proyek. Solusi muncul ketika warga merasa dilibatkan, punya harapan, dan berperan dalam perubahan itu,” tegasnya.
Deni juga mengingatkan keterbatasan kewenangan Pemkot yang hanya bisa bertindak di zona tertentu sesuai regulasi. Oleh karena itu, ia mendorong sinergi lintas instansi dan pelibatan organisasi masyarakat sipil.
Ia berharap pemerintah bisa menerapkan model pembangunan partisipatif, di mana warga bukan hanya sebagai penerima manfaat, tapi juga terlibat dalam perencanaan hingga pengawasan revitalisasi.
“Mulai dari forum RT hingga kelompok swadaya masyarakat, mereka harus diajak sejak awal proses. Bukan hanya dikumpulkan ketika proyek akan dimulai,” tambahnya.
Penataan kawasan kumuh, menurutnya, bukan sekadar memperbaiki fisik lingkungan, tapi juga tentang memulihkan martabat hidup masyarakat.
“Kalau ingin kota yang tertata dan layak huni, dengarkan dulu suara warganya,” tutup Deni. (RD/Adv/DPRDSamarinda)