HarianBorneo.com, SAMARINDA – Sejak 3 September pemerintah pusat resmi menaikkan BBM subsidi maupun non subsidi. Pasalnya menjelang akhir tahun, tingkat konsumi BBM pun meningkat, sehingga negara juga perlu menambah anggaran dari yang awalnya Rp152,5 triliun menjadi Rp502,4 triliun.
Lantaran ingin membatasi lajunya penggunaan BBM, pemerintah akhirnya menaikkan harga BBM yang kini menjadi masalah bagi seluruh lapisan masyarakat.
Padahal Ketua Fraksi PKS DPRD Kota Samarinda Sani Bin Husain mengakui selama ini 70 persen BBM subsidi selama ini dinikmati oleh kalangan warga yang mampu secara finansial.
“Sehingga tidak seharusnya pemerintah menambah beban lagi ke masyarakat bawah,” tegasnya.
Diketahui saat ini harga Pertalite dari Rp 7.650 per liter menjadi Rp 10.000 per liter, harga Solar subsidi dari Rp 5.150 per liter menjadi Rp 6.800 per liter, dan harga Pertamax dari Rp 12.500 menjadi Rp 14.500 per liter.
Kenaikan BBM saat ini jelas berimbas pada kenaikan harga bahan pokok dan daya beli masyatakat. Lantaran harga komoditas ikut naik.
“Karena biaya akomodasi dan transportasi ikut naik. Akhirnya terbebani justru masyarakat lagi,” tuturnya.
Jika daya beli masyarakat, akhirnya memicu adanya inflasi yang akan lebih berdampak buruk, pada perputaran ekonomi masyarakat. Sebab ia diperkirakan saat ini inflasi mencapai 0.97%, jika terus terjadi justru semakin menurunkan daya beli masyarakat.
Saat ini pemerintah pusat berencana menyalurkan Bantuan Langsung Tunai (BLT) BBM sebesar Rp12,4 triliun kepada 20,65 juta keluarga. Selain itu Pemerintah juga menyiapkan anggaran sebesar Rp9,6 triliun untuk 16 juta pekerja dengan gaji maksimal Rp3,5 juta. Pemerintah juga memerintahkan kepada pemerintah daerah untuk menggunakan 2% dana transfer umum yaitu sebesar Rp2,17 triliun untuk bantuan angkutan umum, bantuan ojek online, dan untuk nelayan.
Atas hal ini, Sani kembali mempertanyakan apakah data penerima di derah dan di pusat sudah singkron serta bagaimana mekanisme masyarakat yg masuk kretria penerima bansos tapi tidak dapat. Terjadinya salah sasaran masih bisa terjadi dalam pemberian BLT serta Bansos tersebut menjadi sarana dan rawan penyelewengan (korupsi).
“Ini perlu dibuktikan apakah kebijakan ini untuk rakyat atau justru menjadikan alasan dalam menstabilkan APBN, dengan masyarakat sebagai pemikul beban,” demikian Sani.(Im/Adv)